Minggu, 13 Desember 2015

Pajak Penghasilan Pasal 25

KONSEP DASAR PPH PASAL 25
a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaiman adimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23 serta pajak penghasilan yang di pungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
b. pajak penghasilan yang di bayae atau terutang di luar negeri yang boleh di kreditkan dalam pasal 24 dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak

PERHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK
1. angsuran pph pasal 25 sebelum SPT tahunan disampaikan
contoh ; Apabila surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan disampaikan oleh wajib pajak pada bulan maret 2011, mka besarnya angsuran pajak yang harus di bayar wajib pajak untuk bulan Januari dan Februari 2001 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00
2. Abgsuran pph pasal 25 dakam hal terbit SKP
COntoh; Berdasarkan SPT tahunan pajak penghasilan tahin pajak 2001 yang disampaikan wajib pajak dalam bulan Maret 2001, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 2001 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2000 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebsar Rp. 2.000.000,00
3. angsuran PPH pasal 25 jika terdapat kompensasi kerugian
4. angsuran PPh Pasal 25 atas penghasilan tidak teratur
5. Angsuran PPh pasal 25 jika SPT tahunan terlambat disampaikan atau di berikan perpanjangan menyampaiakan SPT

Penetapan Penghitungan Besrnya Angsuran Pajak Bagi wajib pajak tertentu
1. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru
a. Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan
Ketentuan Wajib Pajak baru diatur pada penjelasan pasal 25 ayat (7) huruf a Undang-Undang PPh , yaitu Wajib Pajak yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan. Ketentuan Wajib Pajak baru juga diatur pada pasal 1 angka 1 PMK 208/PMK.03/2009.
Wajib Pajak baru menurut Peraturan Menteri Keuangan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak baru ini diatur pada pasal 2 PMK 208/PMK.03/2009 yaitu:
(1) Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
(2) Penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya;
b. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
(3) Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal yang disetahunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Wajib Pajak badan yang mempunyai kewajiban membuat laporan berkala, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
b. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan
Sehubungan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disebut PP 46 tahun 2013) dan ditindakdilanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disebut PMK 107/PMK.011/2013) dijelaskan batasan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. Batasan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final diatur pada Pasal 2 PMK No.107/PMK.011/2013, yaitu:
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
(4) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(5) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).


Pengertian peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dinyatakan pada pasal 3 PMK No. 107/PMK.11/2013, yaitu:
(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
(3) Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.

(5) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.

Contoh Perhitungan PPh Pasal 25
PT AAA bergerak di usaha perdagangan. Selama tahun 2013 perusahaan tersebut memiliki penjualan sebesar Rp 60.000.000.000,00. Dari penjualan yang dimiliki PT AAA terdapat penjualan ke bendaharawan negara sebesar Rp 3.000.000.000,00 dan telah dipungut pajak penghasilan pasal 22 sebesar Rp 45.000.000,00. Atas penjualan tersebut terdapat biaya pokok penjualan sebesar Rp 50.000.000.000,00 dan biaya usaha sebesar Rp 8.000.000.000,00. Berapakah angsuran pajak pasal 25 PT AAA untuk tahun 2014?

Jawaban:

Penjualan

Rp 60.000.000.000,00
HPP

Rp 50.000.000.000,00 -
Laba Kotor

Rp 10.000.000.000,00
Beban Usaha

Rp   8.000.000.000,00 -
Laba Neto

Rp   2.000.000.000,00
Perhiungan Pajak:
25% x Rp 2.000.000.000,00 =
Rp      500.000.000,00
Kredit Pajak:


PPh Pasal 22

Rp        45.000.000,00 -
Pajak Kurang Bayar

Rp      455.000.000,00
PPh Pasal 25 (2014)
Rp 455.000.000,00 : 12 bulan =
Rp        37.916.667,00


Jadi angsuran pajak penghasilan pasal 25 tahun 2014 milik PT AAA sebesar 37.916.667,00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar