Minggu, 13 Desember 2015

Pajak Penghasilan pasal 26

Pengertian
Menurut pasal 2 ayat 4 undang-undang pajak penghasilan yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang didirikan dan tidak bertempat kedudukan Indonesia di Indonesia yang:
1. Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
2. Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau kegiatan Indonesia
Sedangkan yang dimaksud dengan BPUPKI adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang sudah bertempat tinggal di Indonesia Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang didirikan dan tidak bertempat kedudukan Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan manusia yang dapat berupa jasa maupun usaha.

Pemungut PPH Pasal 26
Yang termasuk dalam pemungutan pajak PPh pasal 26 itu:
A. Badan pemerintah
B.  subjek pajak dalam negeri
C. Penyelenggaraan kegiatan
D. Bentuk usaha tetap
E. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

Objek PPh Pasal 26
1. 20% (final) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa :
dividen;
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
hadiah dan penghargaan
pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
Premi swap dan transaksi lindung lainnya; dan/atau
Keuntungan karena pembebasan utang.
2. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto berupa :
penghasilan dari penjualan harta di Indonesia;
premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
3. 20% (final) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau spesial purpose company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia;
4. 20% (final) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.

Cobtoh perhitungan pph pasal 26
1. Suatu badan subjek pajak dalam negeri pembayaran royalti sebesar 100 juta rupiah kepada wajib pajak luar negeri subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong pajak penghasilan sebesar 20% dari 100 juta rupiah.
Pajak yang harus dipungut:
20% x Rp 100.000.000 = Rp 20.000.000

Pajak Penghasilan Pasal 25

KONSEP DASAR PPH PASAL 25
a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaiman adimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23 serta pajak penghasilan yang di pungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
b. pajak penghasilan yang di bayae atau terutang di luar negeri yang boleh di kreditkan dalam pasal 24 dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak

PERHITUNGAN BESARNYA ANGSURAN PAJAK
1. angsuran pph pasal 25 sebelum SPT tahunan disampaikan
contoh ; Apabila surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan disampaikan oleh wajib pajak pada bulan maret 2011, mka besarnya angsuran pajak yang harus di bayar wajib pajak untuk bulan Januari dan Februari 2001 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2000, misalnya sebesar Rp 1.000.000,00
2. Abgsuran pph pasal 25 dakam hal terbit SKP
COntoh; Berdasarkan SPT tahunan pajak penghasilan tahin pajak 2001 yang disampaikan wajib pajak dalam bulan Maret 2001, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni 2001 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2000 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebsar Rp. 2.000.000,00
3. angsuran PPH pasal 25 jika terdapat kompensasi kerugian
4. angsuran PPh Pasal 25 atas penghasilan tidak teratur
5. Angsuran PPh pasal 25 jika SPT tahunan terlambat disampaikan atau di berikan perpanjangan menyampaiakan SPT

Penetapan Penghitungan Besrnya Angsuran Pajak Bagi wajib pajak tertentu
1. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru
a. Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan
Ketentuan Wajib Pajak baru diatur pada penjelasan pasal 25 ayat (7) huruf a Undang-Undang PPh , yaitu Wajib Pajak yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan. Ketentuan Wajib Pajak baru juga diatur pada pasal 1 angka 1 PMK 208/PMK.03/2009.
Wajib Pajak baru menurut Peraturan Menteri Keuangan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak baru ini diatur pada pasal 2 PMK 208/PMK.03/2009 yaitu:
(1) Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
(2) Penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya;
b. dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.
(3) Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal yang disetahunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Wajib Pajak badan yang mempunyai kewajiban membuat laporan berkala, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
b. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan
Sehubungan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disebut PP 46 tahun 2013) dan ditindakdilanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disebut PMK 107/PMK.011/2013) dijelaskan batasan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. Batasan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final diatur pada Pasal 2 PMK No.107/PMK.011/2013, yaitu:
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
(4) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(5) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).


Pengertian peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dinyatakan pada pasal 3 PMK No. 107/PMK.11/2013, yaitu:
(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
(3) Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.

(5) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.

Contoh Perhitungan PPh Pasal 25
PT AAA bergerak di usaha perdagangan. Selama tahun 2013 perusahaan tersebut memiliki penjualan sebesar Rp 60.000.000.000,00. Dari penjualan yang dimiliki PT AAA terdapat penjualan ke bendaharawan negara sebesar Rp 3.000.000.000,00 dan telah dipungut pajak penghasilan pasal 22 sebesar Rp 45.000.000,00. Atas penjualan tersebut terdapat biaya pokok penjualan sebesar Rp 50.000.000.000,00 dan biaya usaha sebesar Rp 8.000.000.000,00. Berapakah angsuran pajak pasal 25 PT AAA untuk tahun 2014?

Jawaban:

Penjualan

Rp 60.000.000.000,00
HPP

Rp 50.000.000.000,00 -
Laba Kotor

Rp 10.000.000.000,00
Beban Usaha

Rp   8.000.000.000,00 -
Laba Neto

Rp   2.000.000.000,00
Perhiungan Pajak:
25% x Rp 2.000.000.000,00 =
Rp      500.000.000,00
Kredit Pajak:


PPh Pasal 22

Rp        45.000.000,00 -
Pajak Kurang Bayar

Rp      455.000.000,00
PPh Pasal 25 (2014)
Rp 455.000.000,00 : 12 bulan =
Rp        37.916.667,00


Jadi angsuran pajak penghasilan pasal 25 tahun 2014 milik PT AAA sebesar 37.916.667,00

Sabtu, 12 Desember 2015

Pajak Penghasilan Pasal 24

Konsep Dasar PPh Pasal 24
- PPH yang mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terletak di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.
- pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya pengertian dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia
- Indonesia Textile editing Ordinary credit method dengan menerapkan per country limitation

OBJEK PPH PASAL 24
a. penghasilan dari saham dan sekuritas lainya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekurita lainya adalah negeara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan
b. penghasilan berupa bungya, royalti, dan sewa
c. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak
d. penghasilan beurpa imbalan sehubungan dngan jasa , pekerjaan, dan alat kegiatan negara
e. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat tetap berada
f. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian adri suatu BUT adalah negara tempat BUT berada.

Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri
Untuk melaksanakan perkreditan pajak luar negeri. Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur Jendral Pajak dengan melampirkan:
1)Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
2)Fotocopy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
3)Dokumen pembayaran pajak di luar negeri

          Permohonan kredit pajak luar negeri tersebut harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Contoh Perhitungan
PT ABC pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
Penghasilan beruba laba usaha di dalam negeri Rp300.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara A Rp200.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara B Rp400.000.000 dan rugi usaha dari negara C Rp250.000.000. Jika tarif pajak yang berlaku di negara A, B dan C masing-masing 20%, 30% dan 40%. Hitung PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia!
menghitung total penghasilan kena pajak:
penghasian dari DN                     Rp300.000.000
penghasilan dari neg A                Rp200.000.000
penghasilan dari negara B            Rp400.000.000
total penghasilan kena pajak        Rp900.000.000
menghitung total pajak terutang
10% x Rp50.000.000                   Rp    5.000.000
15% x Rp50.000.000                   Rp    7.500.000
30% x Rp800.000.000                 Rp240.000.000
Total pajak terutang                     Rp252.500.000
menhitung maksimal kredit pajak yang diperbolehkan:
di neg A = (200.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp  56.111.106
di neg B = (400.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp112.222.212
pajak yang dibayarkan atau terutang di LN:
di Negara A     20% x Rp200.000.000 =  Rp  40.000.000
di Negara B      30% x Rp400.000.000  =   Rp120.000.000
dari perhitungan di atas maka kredit pajak (PPh pasal 24) adalah:
dari Neg A           Rp  40.000.000
dari Neg B           Rp112.222.212
total                      Rp 152.222.212

Pajak Penghasilan Pasal 23

Subjek PPH PASAL 23
1. Pemotong PPh Pasal 23:
A. Badan pemerintah
B. Wajib pajak badan dalam negeri
C. Bentuk usaha tetap
D. Penyelenggaraan kegiatan
E. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
F. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 23
A. Wp dalam negeri
B. BUT

OBJEK DAN TARIF PPH PASAL 23
1. Tarif 15% dari jumlah bruto atas:

Dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga dan royalti;
Hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh pasal 21;
2. Tarif 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.

3. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.

4. Tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya adalah yang diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 141PMK.03/2015 dan efektif mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus 2015. Berikut ini adalah daftar jasa lainnya tersebut:

Penilai (appraisal);
Aktuaris;
Akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
Hukum;
Arsitektur;
Perencanaan kota dan arsitektur landscape;
Perancang (design);
Pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh Badan Usaha Tetap (BUT);
Penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
Penambangan dan jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
Penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
Penebangan hutan;
Pengolahan limbah;
Penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing services);
Perantara dan/atau keagenan;
Bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI);
Kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI;
Pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
 Mixing film;
Pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, foto, slide, klise, banner, pamphlet, baliho dan folder;
Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan.
Pembuatan dan/atau pengelolaan website;
Internet termasuk sambungannya;
Penyimpanan, pengolahan dan/atau penyaluran data, informasi, dan/atau program;
Instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV Kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
Perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
Perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat.
Maklon;
Penyelidikan dan keamanan;
Penyelenggara kegiatan atau event organizer;
Penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau jasa periklanan;
Pembasmian hama;
Kebersihan atau cleaning service;
Sedot septic tank;
Pemeliharaan kolam;
Katering atau tata boga;
 Freight forwarding;
Logistik;
Pengurusan dokumen;
Pengepakan;
Loading dan unloading;
Laboratorium dan/atau pengujian kecuali yang dilakukan oleh lembaga atau institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
Pengelolaan parkir;
Penyondiran tanah;
Penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
Pembibitan dan/atau penanaman bibit;
Pemeliharaan tanaman;
Permanenan;
Pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan/atau perhutanan;
Dekorasi;
Pencetakan/penerbitan;
Penerjemahan;
Pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
Pelayanan pelabuhan;
Pengangkutan melalui jalur pipa;
Pengelolaan penitipan anak;
Pelatihan dan/atau kursus;
Pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
Sertifikasi;
Survey;
Tester;

Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

Pengecualian Objek PPH PSL 23
1. Penghasilan yang dibayar atau berulang kepada bank;
2. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
4. Bagi perseroan terbatas, BUMN/BUMB, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.
SHU koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
Penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan.
 
Contoh Perhitungan PPH Pasal 23
1. Membayar jasa perbaikan mesin produksi yang telah masuk sebesar rp. 15.000.000 kepada PT Maju jaya yang beralamat di jl. Raya No. 7. NPWP: 01.444.777.2.555.000
Jawab: 
1. PPh 23 = w% x Rp 15.000.000 = Rp. 300.000

Pajak Penghasilan Pasal 22

Dasar hukum
A. Pasal 22 Undang-undang Pajak Penghasilan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 392/KMK.03/2001
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 236/KMK.03/2003
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2007
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.03/2008
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-417/PJ./2001
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-401/PJ./2001
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-529/PJ./2001
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-69/PJ./1995
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-01/PJ./1996

Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-25/PJ./2003

Konsep dasar PPH Pasal 22
Pajak penghasilan pasal 22 adalah Pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan badan badan tertentu untuk membuat pajak dan wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.

Pajak Penghasilan pasal 22 adapah pph yang di pungut oleh:
A. Dari pemerintah untuk membuat Pajak Usu hubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang
B. Badan badan tertentu untuk membuat pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau bidan usaha di bidang lain
C. Wajib pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah

Subjek PPH PASAL 22
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang;
2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya,, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
4.Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)  atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
5. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
6. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero);
7. Bank-bank Badan Usaha Milik Negara,berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;
8. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
9. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.

Pemungutan PPH Pasal 22

Atas impor :
yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
non-API = 7,5% x nilai impor;
yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final
Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API = 0,5% x nilai impor.
Atas penjualan
Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.

Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22.

Pengecualian pemungutan pph pasal 22
Impor barang-barang dan/atau penyerahan barang yangberdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh. Pengecualian tersebut, harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Impor barang-barang yang dibebaskan dari bea masuk:
yang dilakukan ke dalam Kawasan Berikat (kawasan tanpa bea masuk hingga barang tersebut dikeluarkan untuk impor, ekspor atau re-impor) dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE), yaitu tempat penimbunan barang dagangan karena pengimpornya tidak membayar bea masuk sebagaimana mestinya;
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 PP Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pembebanan atas Impor sebagaimana diubah dan ditambah terakhir dengan PP Nomor 26 tahun 1988 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1973;
berupa kiriman hadiah;
untuk tujuan keilmuan.
Pembayaran atas penyerahan barang yang dibebankan kepada belanja negara/daerah yang meliputi jumlah kurang dari Rp 2.000.000,- (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah).
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos, dan telepon.

Tarif PPH Pasal 22
Atas impor  yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;  yang tidak menggunakan API, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor; dan barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang;
Atas pembelian barang atau pembayaran yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat Daerah sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
Atas pembelian barang yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD) sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
Atas pembelian barang yang dilakukan oleh  Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau steel, PT Pertamnina, dan bank-bank BUMN yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian.
Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen sebesar 0,25% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)  PPN
Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri rokok sebesar 0,15% dari Harga Bandrol dan bersifat final.
Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri kertas sebesar 0,1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)  PPN
Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja sebesar 0,3% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)  PPN
Atas penjualan semen oleh Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri otomotif sebesar 0,45% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP)  PPN
Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut:                             SPBU Swastanisasi              SPBU Pertamina
————————–  —————————-
Premium                 0,3% dari penjualan             0,25% dari penjualan
Solar                      0,3% dari penjualan            0,25% dari penjualan
Premix/Super TT      0,3% dari penjualan             0,25% dari penjualan
Minyak Tanah          0,3 % dari penjualan
Gas LPG                 0,3 % dari penjualan
Pelumas                 0,3 % dari penjualan

Pasal 22 yang atas pembelian bahan-bahan oleh  Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka adalah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari
harga pembelian tidak termasuk PPN

Contoh perhitungan pph pasal 22
PT Pasaribu Motors mengimpor barang dari Korea. PT Pasaribu Motors adalah importir mobil yang telah memiliki Angka Pengenal Impor. PT KIA mengimpor unit 50 mobil, dengan harga faktur $ 10.000 per unit. Biaya asuransi dan biaya angkut yang berkaitan dengan impor mobil tersebut masing-masing adalah 2% dan 3%. Bea masuk yang dibayar oleh PT KIA Motors sebesar 5% dari CIF dan bea masuk tambahan sebesar 20% dari CIF. Kurs pada saat itu ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebesar $1 = Rp 9.000. Berapa PPh pasal 22 yang harus dibayar?Harga faktur : 50 unit x $10.000                                   $500.000
Biaya asuransi(2%)                                                       $   10.000
Biaya angkut(3%)                                                         $   15.000
                                                                                      --------------
CIF                                                                                $525.000
Bea masuk: 5% x $525.000                                          $  26.250
Bea masuk tambahan:20% x $525.000                         $105.000
                                                                                       -------------
Nilai Impor                                     2                             $ 656.250



Nilai Impor dalam rupiah:
$656.250 x Rp 9.000 =  Rp   5.906.250.000,-
PPh 22 yang harus dipungut (memiliki API)

2,5% x Rp   5.906.250.000 = Rp  147.656.250,

Jumat, 11 Desember 2015

Pahak Penghasialan pasal 21

Konsep dasar pph pasal 21
Pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji upah yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri hubungan dengan pekerjaan atau jabatan jasa dan kegiatan.

Pemotong pph pasal 21: 
pemberi kerja yang terdiri dari:
1.orang pribadi
2.badan;
cabang, perwakilan, atau unit, dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut.
bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
3. honorarium, komisi, fee, atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
honorarium, komisi, fee, atau imbalan lain kepada peserta pendidikan dan pelatihan, serta pegawai magang;
4. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada 5. Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.

Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan agar dapat menjadi Pemotong PPh Pasal 21 harus mendaftarkan diri untuk menjadi Pemotong PPh Pasal 21. Pendaftaran sebagai pemotong PPh Pasal 21 dapat dilakukan pada saat pendaftaran NPWP atau setelah pendaftaran NPWP.


Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan dapat mengetahui apakah menjadi Pemotong PPh Pasal 21 dengan melihat SKT (Surat Keterangan Terdaftar) yang diterima dari Kantor Pelayanan Pajak pada waktu pendaftarran NPWP.

Kewajiban pemotong pph pasal 21
1. Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak Setempat.
2.    Pemotong Pajak wajib mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak Setempat.
3.    Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim.
4.    Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 sekalipun nihil dengan menggunakan surat pemberitahuan (SPT) masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuuhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim berikutnya.
5.    Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana pensiun iuran.
6.    Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerimaan pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu dua bulan setelah tahun takwim berakhir. Apabila pegawai tetap tersebut berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka bukti pemotongan diberikan selambat-lambatnya satu bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
7.    Dalam waktu dua bulan setelah tahun takwim berakhir, pemotong pajak wajib menghitung kembali jumlah PPh pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan sesuai tariff.
8.    Pemotong Pajakn wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
9.    Pemotong pajak wajib melampiri SPT Tahunan PPh Pasal 21 dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 untuk Tahun pajak yng bersangkutan.
10.    Pemotong pajak wajib menyetor kekurangan PPh Pasal 21 yang terutang apabila jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih besar daripada PPh Pasal 21 yng telah disetor

Objek pph pasal 21
a.         Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur, yang berupa gaji, uang pension bulanan, upah, honorarium ( termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas ) premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, uang tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pension, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang di bayar pemberi kerja, dan penghasilan tertur lainnya dengan nama apapaun.
b.         Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur, yang berupas jasa produksi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lain nya yang sifat nya tidak tetap.
c.         Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan,termasuk uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai.
d.        Uang tebusan pension, uang pesangon, uang tabungan hari tua atau jaminan hari tua, pesangon dan pembayaran lainyang sejenis.
e.         Honorarium, uang saku, hadiah/penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan wajib pajak
f.         Gaji, gaji kehormatan, dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh pejabat Negara, pegawai negeri sipil, serta uang pension, dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiuanan termasuk janda/duda dan/atau anak-anaknya.

g.        Penerimaan dalam bantuk natura dan kenikamatan lain nya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan wajib pajak atau wajib pajak yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan pajak penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus

Mekanisme pemotongan dan pemungutan PPH pasal 21
A. PPH PASAL 21 ATAS PEGAWAI TETAP
 Ahmad Zakaria pada tahun 2015 bekerja pada perusahaan PT Zamrud Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp 6.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00. Ahmad menikah tetapi belum mempunyai anak. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :

Gaji sebulan                                                                     Rp     6.000.000,00

Pengurangan :
1.    Biaya  Jabatan :
5% x Rp 6.000.000,00          =  Rp       300.000,00
2.    Iuran pensiun                        =   Rp       100.000,00 +
                                                                                          Rp        400.000,00 -
Penghasilan neto sebulan                                                 Rp    5.600.000,00

Penghasilan neto setahun adalah :
12 x Rp 5.600.000,00                                                        Rp   67.200.000,00

PTKP setahun (K/0) :
-   untuk WP sendiri                   =   Rp 36.000.000,00
-   tambahan WP kawin             =   Rp   3.000.000,00
                                                                                          Rp  39.000.000,00 -

Penghasilan Kena Pajak setahun      =                           Rp      28.200.000,00

PPh Pasal 21 terutang setahun :
5% x Rp 28.200.000,00                          =                            Rp     1.410.000,00

PPh Pasal 21 sebulan :
Rp 1.410.000,00 : 12                           =                              Rp         117500,00

Pph pasal 21 atas THR
1) Adin Sugandi (tidak kawin) bekerja pada PT Suka Makmur dengan memperoleh gaji sebesar Rp 3.000.000,- sebulan. Pada bulan Juli 2014 memperoleh THR sebesar Rp 7.500.000,-  Setiap bulan Adin Sugandi membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp 100.000,-

Cara menghitung PPh Pasal 21 atas THR tersebut adalah:

a. PPh Pasal 21 atas Gaji dan THR (penghasilan setahun)

Gaji setahun (12 x Rp 3.000.000,-)      = Rp 36.000.000,-

THR                                                                   = Rp  7.500.000,-

Penghasilan Bruto Setahun                        = Rp 43.500.000,-

Pengurangan:

1. Biaya Jabatan

5% x Rp 43.500.000     = Rp 2.175.000,-

2. Iuran Pensiun Setahun

12 x Rp 100.000,-         = Rp 1.200.000,-

Jumlah Pengurangan                                          Rp   3.375.000,-

Penghasilan neto setahun                                 Rp 40.125.000,-

PTKP (TK/0)                                                           Rp 24.300.000,-

PKP                                                                             Rp 15.175.000,-

PPh Pasal 21 terutang                                  Rp       758.750

PPH PASAL 21 ATAS RAPEL:

 PPh Pasal 21 Sebelum Kenaikan Gaji

Gaji Sebulan disetahunkan                        Rp 20.000.000,- x 12        = Rp 240.000.000,-

Pengurangan Biaya Jabatan 5%                                                       = Rp    6.000.000,-

Penghasilan Neto setahun                                                                 = Rp 234.000.000,-

PTKP                                                                                                            = Rp   26.325.000,-

PKP                                                                                                               = Rp 207.675.000,-



PPh Pasal 21

5% x Rp 50.000.000,-                                       = Rp 2.500.000,-

15% x Rp 157.675.000,-                                  = Rp 23.651.250,-

Jumlah PPh Pasal 21Terutang Setahun             = Rp 26.151.250,-

PPh Pasal 21 Terutang sebulan                          = Rp   2.179.271,-



b. PPh Pasal 21 Setelah Kenaikan Gaji

Gaji Sebulan disetahunkan                        Rp 25.000.000,- x 12        = Rp 300.000.000,-

Pengurangan Biaya Jabatan 5%                                                       = Rp    6.000.000,-

Penghasilan Neto setahun                                                                  = Rp 294.000.000,-

PTKP                                                                                                             = Rp   26.325.000,-

PKP                                                                                                                = Rp 267.675.000,-



PPh Pasal 21

5% x Rp 50.000.000,-                                       = Rp 2.500.000,-

15% x Rp 200.000.000,-                                  = Rp 30.000.000,-

25% x Rp 17.675.000,-                                      = Rp   4.418.750,-

Jumlah PPh Pasal 21Terutang Setahun         = Rp 36.918.750,-

PPh Pasal 21 Terutang sebulan                          = Rp  3.076.563,-



PPh Pasal 21 atas Uang rapel sebulan adalah selisih antara perhitungan b dengan perhitungan a, yaitu :

Rp 3.076.563,-  –   Rp 2.179.271,- = Rp 897.292



Sehingga PPh Pasal 21 atas rapel selama 6 bulan adalah 6 x Rp 897.292,- = Rp 5.383.752,-


Pph pasal 21 atas upah harian
arwo dengan status belum menikah pada bulan Januari 20xx bekerja sebagai buruh harian PT Gubel. la bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp200.000,00. Hitung PPh 21!

Pembahasan
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:
Upah sehari Rp 200.000,00
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan pemotongan PPh Rp 200.000,00(-)
Penghasilan Kena Pajak sehari Rp 0,00
PPh Pasal 21 dipotong atas Upah sehari Rp 0,00

Sampai dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp2.025.000,00 maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong. Pada hari ke-11 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp2.025.000,00, maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.

Upah s.d hari ke-11 (Rp200.000,00 x 11) Rp 2.200.000,00
PTKP sebenarnya 11 x (Rp24.300.000,00/ 360) Rp    742.500,00(-)
Penghasilan Kena Pajak s.d hari ke-11 Rp 1.457.500,00
PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-11 5% x Rp1.457.500,00 Rp      72.875,00
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-10 Rp              0,00
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-11 Rp      72.875,00

Sehingga pada hari ke-11, upah bersih yang diterima Jarwo sebesar: Rp200.000,00 - Rp72.875,00= Rp127.125,00


Misalkan Jarwo bekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke - 12 adalah sebagai berikut :
Pada hari kerja ke-12, jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong adalah:

Upah sehari Rp 200.000,00
PTKP sehari
- untuk WP sendiri (Rp 24.300.000,00: 360) Rp   67.500,00(-)
Penghasilan Kena Pajak Rp 132.500,00

PPh Pasal 21 terutang 5% x Rp132.500,00 Rp 6.625,00
Sehingga pada hari ke-12, Jarwo menerima upah bersih sebesar: Rp200.000,00 - Rp6.625,00 = Rp193.375,

BENTUK USAHA TETAP

Pengertian bentuk usaha tetap
Menurut UU pajak, BUT Adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
tempat kedudukan manajemen.
cabang perusahaan.
kantor perwakilan
gedung kantor
pabrik.
Bengkel.
Gudang.
ruang untuk promosi dan penjualan.
pertambangan dan penggalian sumber alam.
wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.
komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Objek pajak BUT
1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT ersebut dari harta yang dimiliki atau dikuasai
2.  Penghasilan kantor pusat dari usaha Kegiatan penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan menjalankan atau yang dilakukan oleh Badan Usaha tetap di Indonesia
3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat sepanjang Terdapat hubungan efektif antara Badan Usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
4. Yang berkenaan dengan Pancasila sebagai dimaksud dengan angka 2 dan 3 boleh dikurangkan dari penghasilan BUT.